Apa aja deh..: Curahan Hati Sang "ARTIS" Teladan ....

Curahan Hati Sang "ARTIS" Teladan ....

Maaf, jika judul tulisan saya aneh. Tapi, saya rasa tak terlalu masalah dengan judulini. Karena yang saya tuliskan benar adanya, “Artis itu, mengaku dihadapan kami, malam itu.”

Namanya Oki Setiana Dewi, kawan-kawan pasti kenal dengan dia. Ya, dialah Anna Al Thafunnisa dalam Ketika Cinta Bertasbih. Kemarin, dia menyambangi kami dalam acara Mabit yang diselenggarakan oleh Rumah Al Qur’an Darut Tarbiyah. Mabit tersebut dilaksanakan di masjid Raya At Taqwa – Pasar Mingu – Jakarta Selatan. Kemarin, dia mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya kepada kami.

Lalu, mengapa  kutulis curhatannya? Tiada lain tiada bukan, agar Kita berkaca kepada diri perihal kehidupan yang telah Ia jalani. Menurutku , “ Dialah artis paling “Rapi” Pakaiannya dibanding artis-artis lain.” Semoga Allah menjaga Dia dalam keistiqomahan, hingga dunia perfilman di negeri ini, diisi oleh artis dan aktor yang memang peduli dengan dakwah Islam, meninggikan kalimat Allah dibumiNya. Amiin Ya Robb.
Baiklah, saya mulai ceritanya.

Eh, maaf, ketika bercerita, dia berada di balik tabir. Jadi, kami seperti mendengar radio, ada suara tapi tidak ada orangnya. Hanya jama’ah akhwat yang tahu, apa  warna jilbab dan kaos kaki yang ia kenakan. Hehehe.


Ia memulai dengan salam. “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh” kala itu, Saya tengah menikmati akhir surat Al Ankabut, jadi kujawab sambil lalu dalam hati. “Baiklah, Saya ingin sedikit bercerita kepada Sahabat sekalian.” Ia melanjutkan, suaranya memang bagus, tak kalah dengan penyanyi yang suka “buka baju” di tempat umum.  “Saya sangat berbahagia berada di majlis ini. Saya sangat bangga berada di tengah-tengah kalian. Para bidadari-bidadri surga dan calon peminang bidadari surga yang menjadikan Al Qur’an sebagai sahabat sejati.” Suaranya mulai parau, nampaknya ia akan menyampaikan sebuah kisah haru dalam salah satu perjalanan kehidupannya.


“Beberapa pekan yang lalu, Saya berkunjung ke rumah Al Qur’an Universitas Indonesia yang berada di kawasan Beji – Depok. Ketika memasuki gerbangnya, hati saya bergetar hebat. Rumah itu memang kecil, bahkan Saya baru tahu bahwa di rumah itu , setiap kamarnya dihuni oleh 6 orang. Tapi, kecil fisiknya bukan berarti kecil pula maknanya.” Ia melanjutkan dengan alur mundur, kembali ke masa beberapa pekan yang lalu.


“ Yang membuat Saya bergetar takjub adalah para bidadari- bidadari dunia yang sibuk dengan mushafnya. Ada yang sekedar membukanya, khusyu’ bertilawah, sibuk hafalan, atau yang sibuk mengulang hafalan disetiap sudut rumah itu. Sungguh pemandangan yang menenangkan di tengah hedonisnya kehidupan di luar sana. Di rumah itu, Qur’an tidakpernah berhenti, ketika satu akhwat berhenti, maka akhwat lainnya melanjutkan. Sungguh!!! Hati saya bergetar  melihat pemandangan itu.” Saya jadi ikut bergetar mendengar penuturannya. Benarlah apa yang dikatakan oleh seorang bijak, “Sekuat apapun hati seorang Kesatria, akan luntur jika dihadapkan dengan kelembutan seorang wanita.” Ah, akupun menghentikan tilawaku. Pikirku, akan ada hikmah menarik yang bisa kutuliskan.


“ Sahabatku sekalian, menghafal Qur’an adalah cita-citaku.” Setelah sedikti terisak, Ia melanjutkan. Saya kaget. Baru kali ini mendengar ada artis yang bercita-cita menjadi penghafal Al Qur’an, dan ia nampak bersungguh-sungguh dengan niatnya itu. Aku tahu dari nada bicaranya. “ Semuanya bermula ketika Saya shooting film Ketika Cinta Bertasbih di Mesir. Saya sangat bersyukur dengan apa yang telah diberikanNya pada saya.” Lanjutnya, kembali ke masa lalu, ketika Ia berada di bumi para nabi. “Pada suatu hari, dalam sesi santai, kami jalan-jalan  untuk melepas lelah. Ada sekumpulan anak yang menghampiriku. Akupun menyambutnya dengan bahagia, mereka menganggap Kami seperti warga sendiri. Kemudian, terjadilah sebuah dialog yang menghenyakkan pikiran dan hati Saya. Sebuah dialog yang tidak pernah Saya bayangkan sama sekali sebelumnya. Ya, karena yang bertanya adalah anak-anak yang usianya sekitar belasan tahun.” Ia menuturkan dengan bersemangat. Saya mulai penasaran untuk terus mendengarkan.

“ Anak itu bertanya kepadaku, ‘ Kau seorang Muslimah?’ Jawabku, ‘Iya, saya Muslimah.” Sampai di sini, Ia berhenti. Ada tangis yang ditahannya. Entah, Aku tidak tahu. “Setelah itu, anak ini memberikanku sebuah pertanyaan yang tidak bisa Saya jawab. Pertanyaan yang menyadarkan kelalain Saya  selama ini. Pertanyaan yang membuat Saya tidak kunjung bisa memejamkan mata dalam bebarapa saat.”


“ Tanyanya, ‘ Hafalan Al Qur’anmu berapa Juz?’ Allahu Akbar walillahil hamd! Anak sekecil itu bertanya tentang hafalan. Saya diam terpaku. Lidah ini kaku untuk sekedar mengatakan berapa jumlah hafalan Saya. Saya malu, belum banyak hafalan. Saya malu pada diri sendiri, malu pada anak kecil itu dan sangat malu kepada Allah yang telah menciptakan diri ini. Rasa malu itu semakin bertambah ketika sahabat-sahabatnya menyahut, mereka menjawab padahal yang ditanya adalah Saya. Kata salah satu dari mereka, ‘Aku sudah delapan juz,’ Sahut yang lain, ‘Aku sudah  sepuluh juz,’ dan seterusnya.” Ah, tidak hanya Dia yang terdiam, hadirinpun tediam ketika mendapati pertanyaan itu. Kita memang terlalu lama lalai terhadap apa yang Allah perintahkan. Banyak sekali usia Kita yang kemudian terbuang, tanpa makna.
Sampai di sini, Dia benar-benar diam. Setelah bebarapa saat, Ia kembali berkata, “Sejak saat itu, Saya berkomitmen untuk kembali menghafal Al Qur’an secara rutin, sesuai kemampuan Saya.”


“Kemudian,” Dia melanjutkan kisahnya. “ Saya diberi nikmat dari Allah untuk melaksanakan Umroh. Di pinggiran masijid Nabawi, ada halaqoh Al Qur’an yang dipimpin oleh seorang ustadzah. Mereka berada dalam sebuah lingkaran, Lingkaran cahaya. Semua peserta adalah anak kecil, sekitar usia Sekolah Dasar. Dalam halaqoh tersebut, Saya bergabung. Ada sebuah hal yang ganjil. Saya, adalah peserta paling besar sekaligus paling aneh. Sayalah satu-satunya peserta yang memegang Mushaf Al Qur’an. Sementara anak anak kecil itu, tidak memegang Al Qur’an. Kajianpun dimulai. Sang ustadzah menyebut secarik ayat secara acak dalam Al Qur’an, kemudian anak-anak kecil itu dimintanya untuk melanjutkan bacaan ayat tersebut secara benar. Subhanallah sahabtku, Mereka melanjutkan dengan lancar apa yang dibaca oleh sang ustadzah. Dan kalian tahu apa yang kulakukan?” Isaknya semakin terdengar. Ia begitu menjiwai ceritanya.


Sambil menahan tangis agar tidak tumpah, Ia melanjutkan, “ Saya sibuk membolak balikkan mushaf mencari ayat yang sedang dibaca oleh anak-anak kecil itu. Dan sampai akhir, Saya hanya sibuk membolak-balik Mushaf dan tidak menemukan ayat yang kucari itu. Saya malu pada diri, malu pada anak kecil itu dan Sangat Malu pada Allah yang telah menciptakanku.”  Akupun jadi membayangan, jika yang berada di majlis itu adalah aku, mungkin akan lebih. Lebih sibuk mebolak balik mushaf, dan lebih malu dari dia. HUft! Masya Allah … Astaghfirullahal ‘adhiim… ampuni kelalaian kami Ya Robb….


“ Maka sepulang dari madinah, kesadaran Saya mulai tumbuh. Di tengah pujian berbagai pihak atas prestasiku di bidang lain, ternyata saya masih kalah dengan para penghafal Qur’an itu. Merekalah yang layak dipuji, merekalah yang layak di elu – elukan. Merekalah yang layak disanjung dan diagungkan. Karena mereka adalah pembawa panji islam, mereka keluarga Allah dan orang-orang pilihanNya.” Pungkasnya sambil tetap menahak isak.


***

Subhanallahi Wal Hamdulillah …
Saudaraku, ini adalah fakta. Ini bukan dongeng. Ini realita. Di sana, Mesir, Palestina, Madinah, Makkah dan negeri negeri muslim lainnya, banyak anak kecil yang telah hafal Al Qur’an, lengkap 30 Juz. Mereka menjadikan menghafal Al Qur’an sebagai sebuah ibadah unggulan. Mereka sadar, menghafal  Al Qur’an berarti menjaga kemurniaan Kalam Allah. Maka, bagi mereka adalah sebuah aib manakala dalam satu keluarga tidak terdapat Hafidz atau hafifdzah di dalamnya.
Mari berkaca dengan Negeri kita! Tak usah jau- jauh mengambil sampel. Lihatlah diri kita sebagai objeknya. Tak perlu orang lain. Bercerminlah, dan jujurlah! Katakan pada nuranimu yang terdalam, apa alasannya, hingga setua ini kita belum bisa menghafal Al Qur’an?


Akupun tak kuasa melanjutkan sahabat. Aku sendiri juga belum bisa menghafal keseluruhan Al Qur’an. Tapi, bukan itu esensinya. Yang terpenting adalah niat, tekad dalam menghafal. Sekuat otak, sesuai dengan batas kemampuan Kita. Lalu, serahkan semuanya pada Allah yang maha menganugerahi.

Ust Hartanto Saryono Al hafidz menyampaikan dalam salah satu taujihnya, “ Menghafal Qur’an, awalnya adalah karena MAU. Kemudian selanjutnya akan terwujud sesuai dengan sekuat apa kita berusaha. Dan akhirnya, semuanya bisa kita hafal karena ANUGERAH dari ALLAH. Bukan lantaran upaya Kita. Karena upaya Kita dalam menghafalpun, lantaran Anugerah dariNya.”


Sahabat, mari tekadakan, Minimal surat-surat pendek di juz 30. Alhamdulillah jika juz 30 sudah hafal. Maka kita tinggal menambah juz 29 serta beberapa surat yang sering dibaca, baik Yaa Siin, Al Waqi’ah, Ar Rohman, An NUr, Al Mulk, Ad Dukhan dan seterusnya hingga kemudian kita menghadap Allah dalam keadaan sibuk berinteraksi dengan Al Qur’an.
Seperti halnya Oki Setiana Dewi yang galau ketika tidak bisa fokus menghafal Al Qur’an, padahal prestasinya di bidang lain, sudah terbukti, sudah teruji. Ada sesuatu yang bisa Ia sampaikan ketika dimintai Hisab oleh Allah, ada prestasi yang bisa dibanggakannya dan diakui oelh banyak orang. Lalu, Bagaimana dengan Kita? Kira-kira, alasan apakah yang akan Kita kemukakan ketika Allah menghisab diri ini?

 “ Wahai diri!!! Ayolah !!! Bagaimana mungkin Kau akan bermalas-malasan jika Surga adalah Tujuanmu? Bagaimana mungkin Kau akan membuang waktu jika Menghafal Qur’an adalah cita citamu?”
Maka, cukuplah nasehat Utsman bin Affan untuk kita renungkan bersama, “ Jika hati kalian bersih, maka kalian tidak akan bosan dalam berinteraksi  bersama Al Qur’an.”  

Mari, dekap Al Qur’an di bulan tempat diturunkannya... 
by : Usman Alfarisi 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © Apa aja deh.. Urang-kurai